Halaman

Sabtu, 22 Januari 2011

my experience

Kutermenung ditengah gelapnya dunia. Semua orang pastilah sudah terlelap, dan bermimpi terbang ke awan bersama peri peri cantik bersayap emas. Kupejamkan kedua mataku sejenak. Mencoba pisahkan rohku dari raga. Agar dapat kurasakan mimpi mimpi indah itu. Saat mataku terbuka, aku tetap berada di tempat yang sama. Didalam kamar yang sepi, dan hanya terdengar suara detik jam dinding. Roh ini masih tidak mau pergi, dia masih ingin tetap menemaniku disini. Aku masih terjaga, ditengah malam yang sunyi. Tiba-tiba, terlintas sedikit memori pada hari itu.



Kurasakan sekujur tubuhku menggigil. Bagaimana tidak? Diwaktu banyak terdapat air turun dari langit dengan derasnya, aku sedang berada dibukit tempat aku melakukan outbond di hari itu. Aku terjebak disini, kedinginan, kelaparan, capek, penat setelah seharian penuh melakukan hal hal yang menguras tenaga dan fikiran. Kusatukan kedua tanganku, kugerakkan dengan cepat. Agar tercipta sedikit rasa hangat. Kurasakan seluruh air mengalir di semua pori-pori kulitku. Membasahi baju berwarna merah muda yang kukenakan pada hari itu. Aku tidak bisa berfikir apa-apa saat itu, yang kubayangkan adalah berada didalam selimut tebal diatas kasur yang empuk dengan ditemani secangir teh panas.

Semua guru mengajak kami untuk meninggalkan bukit ini, karna keadaan tidak memungkinkan untuk tetap melakukan outbond. Aku dengan ditemani teman dekatku, Ayya. Akan melakukan perjalanan menuruni bukit ini bersama-sama. Ayya menatapku, dilihatnya aku sedang menggigil kedinginan. Tergerak hati Ayya untuk meminjamkan jacket yang ia kenakan “Kamu pakai jacketku tha, dek?” tanyanya padaku dengan nada khawatir. Aku hanya menoleh sebentar kearahnya dan menggelengkan kepala. Pertanda aku tidak menyetujui keputusan itu. “Kamu kedinginan gitu, dek. Aku nggak apa kok. Masih ada jacket lagi.” Kata Ayya sambil melepas jacket yang ia kenakan. “Nggak usah, kak. Kamu kan alergi udara dingin” sergahku sambil mencegah tangan Ayya untuk tidak melepas jacket. Ayya menuruti kata-kataku. Dia kembali membenahi jacketnya yang sudah hampir terlepas. “Kamu beneran nggak apa, dek?” tanyanya lagi, aku hanya sedikit tersenyum dan kemudian mengangukkan kepala. Aku tidak mau membutanya khawatir.

Akhirnya kami berjalan menuruni bukit dengan kesunyian yang mendalam. Aku hanya diam, dan menunduk. Memandangi jalanan yang menurun, dengan air dan lumpur yang berada di permukaannya. Kapan hujan ini akan berakhir? Tanyaku kepada hati kecilku. Ayya terkadang hanya menoleh untuk memastikan keadaanku dan menuntunku untuk berjalan ditengah hujan. Aku beruntung mempunyai teman seperti Ayya. Dia tetap berada di dekatku hingga perjalanan menuruni bukit berakhir.

Para guru membimbing kami ketempat yang sedikit kering dari guyuran hujan. Aku langsung menyandarkan tubuhku pada dinding yang ada. Semua yang ada di tempat itu, bingung melihatku. Sampai akhirnya, ada seorang temanku yang melepas jacketnya dan memberikannya padaku. “Nggak usah, kamu kan juga kedinginan.” Kataku sambil mendorong jacket itu kembali ke tangan pemiliknya. ”Nggak apa, aku sudah nggak kedinginan kok.” Dia mengatakan hal itu sambil kembali menyerahkan jacketnya padaku. Akupun menurut dan akhirnya memakai jacket itu. Kulihat Firda sedang duduk sendiri sambil merapatkan posisi jacketnya. Sedangkan Ayya, tetap ada didekatku.
Aku merasa bahwa aku orang yang egois. Aku tidak seharusnya melakukan hal ini pada Firda. Aku tidak mungkin membuat Ayya tetap berada didekatku saat ini, karna Firda juga pasti membutuhkan Ayya. Aku harus berbagi dengan Firda. Karna disisi lain Ayya, juga ada Firda yang berteman dekat dengan Ayya.

Aku tidak bergeming, aku tetap berada ditempat itu bersama Ayya. Dan tidak melakukan apapun untuk membuat Ayya berada disamping Firda.

Aku kembali membuka mata, dan melihat jam dinding yang menunjukkan tepat pukul 12 tengah malam. Aku tertidur selama satu jam, fikirku. Aku kembali teringat dengan hal tadi. Tidak terasa, air mataku menetes. Aku sadar bahwa aku bersalah pada Firda. Kejadian tadi terlihat begitu nyata. Aku berdo’a dengan air mata yang masih mengalir.
Jika waktu dapat diputar kembali. Aku ingin kembali ke masa itu. Aku ingin memperbaiki sikapku terhadap Sekar. Agar rasa bersalah ini tidak terus menghantuiku. Aku tidak seharusnya melakukan hal ini.

Tangisku semakin pecah. Aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku kembali memejamkan mata. Sedetik, dua detik, tiga detik. Kemudian aku membuka mata. Betapa terkejutnya aku, bahwa ternyata aku sekarang sudah berada di tempat outbond itu. Do’aku dikabulkan, untuk kembali memutar waktu. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Akan kubuat Ayya bersenang-senang dengan Firda, walaupun harus aku yang terluka.


Hanandyta Faradiella

Tidak ada komentar:

Posting Komentar